POSTS SLIDER

I'm writing about...

Anakku Bukanlah Aku Dan Aku Bukanlah Anakku...

Tahun lalu saya sempat menuliskan tentang kisah seseorang yang menjadi korban ambisi orang tuanya karena itulah saya tuangkan disini Mengapa Harus Berambisi?. Hasil dari interview seorang karyawan yang dilema mengikuti keinginan pribadinya atau ambisi orangtuanya.

Hasil akhirnya si karyawan tetap resign keyakinannya membahagiakan orang tua lebih baik dibandingkan dengan meneruskan apa yang ia sukai. Cerita ini tentu sering kali kita dengar, rasanya sebagai pendengar saya gemas kepada orang tuanya MENGAPA sedemikiannya?hingga tak memikirkan apa, bagaimana dengan kondisi dan situasi anaknya.

Lalu apa yang terjadi dengan saya?saat ini saya sudah menjadi orang tua, putri sulung saya Neyna bahkan sudah sekolah. Sebagai orang tua saya senang dengan kemampuan saya yang mampu memberikan pendidikan untuk anak sesuai dengan KEINGINAN saya.

Karena itu pada awal bersekolah saya meminta pendapatnya apakah ingin sekolah?dan jawaban anak saya ia mau untuk sekolah tak hanya sekolah RA akan tetapi juga sekolah ngaji. Saya merasa senang dengan keputusan dan keinginannya yang sesuai juga dengan harapan saya.

Mendidik anak tak semudah yang saya bayangkan dari teori yang pernah terjejali selama masa kuliah maupun seminar parenting yang pernah saya ikuti. Dalam teori maupun pengalaman narasumber di seminar parenting terasa mengalir begitu saja. Nyatanya dalam kehidupan saya semuanya tak semulus teori maupun pengalaman narasumber yang dibagi kepada audience.

Pengennya serba ideal namun nyatanya proses mendidik anak bagi saya itu sulit pake bingits.😓😓


Beberapa bulan yang lalu, Neyna dihadapkan dengan Ujian Tengah Semester. Iyes anak TK zaman now udah ada UTS-nya. Jujur aja karena masih TK, malam hari saya ga intens untuk mengulang kembali apa saja yang Neyna sudah dapatkan di sekolah.

Singkat cerita, kisi-kisi UTS sudah dibagikan oleh pihak sekolah. Ditempel dalam buku catatan hariannya Neyna. Materi yang diujikan berupa bahasa inggris, bahasa sunda, hafalan surat pendek, hafalan al-mahfudzot, menulis serta berhitung. Banyak yah?iyah banyak banget.

Seminggu sebelum ujian, saya melatih Neyna untuk bisa menghafal surat pendek, al-mahfuzdot hingga kosa kata dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Sunda. Alhamdulilah semuanya bisa meski terkadang ada yang lupa-lupa.

Lalu mendekati hari H, saya mulai mengajari berhitung. Disinilah saya baru tahu jika Neyna masih belum bisa hafal angka apalagi menghitungnya. Apa yang terjadi?saya gemas luar biasa dan Neyna pun menangis karena dia merasa sudah tak sanggup belajar menghitung.

gemas campur ga sabar wkatu ngajarin be like
Kejadian ini membuat saya flashback dengan apa yang pernah saya alami saat kecil. Saya merasa di usia yang sama dengan Neyna, saya sudah pandai berhitung bahkan untuk menulis pun sudah lumayan. Makanya sejak dulu saya menyukai hitung-hitungan.

Akhirnya saya membanding-bandingkan kemampuan Neyna dengan kemampuan saya sendiri *astagfirullah* emosi tak terbendung lagi takkala kemampuan belajar berhitung Neyna tidak ada perubahan.

Esok harinya pun demikian Neyna masih kesulitan untuk belajar berhitung, bagaimana dengan saya?saya tetap menyudutkan Neyna dan tetap membandingkan Neyna dengan kemampuan saya saat kecil tanpa menyadari bahwa Neyna bukanlah saya!

Hingga akhirnya saya lelah dan meninggalkan Neyna yang masih menangis sambil berusaha untuk menuliskan angka-angka. Saat itu saya langsung solat, saya menangis mohon ampun karena saya tak mampu mengendalikan emosi saat mengajarinya. Saya sangat menyesal sekali berlaku seperti itu, saya bener-bener lupa dengan kondisi "Memahami", saya benar-benar khilaf dengan terus membandingkan antara saya dan Neyna.

Baca Lagi Yuk : Sebuah Teguran

Selepas solat, saya melihat Neyna dengan perasaan berdosa. Saya melihat wajahnya yang benar-benar sedih sambil tangannya masih mencoret-coret menuliskan deretan angka. Saya dekati Neyna kembali siapa yang menyangka dengan raut kesedihan dan terlihat beban berat diwajahnya ia berkata "maafin aku bunda".

Meleleh dan haru, padahal saya yang begitu keras kepadanya mengajarkan dengan suara Sopran saya. Saya pun memeluknya dan meminta maaf pula.

Akhirnya saya mengikhlaskan dan tak mau menuntut Neyna berlebihan toh masih panjang waktu untuknya belajar. Namun bersyukur sekali ketika pembagian hasil ujiannya ternyata untuk soal berhitung ia selesaikan dengan sempurna tanpa bantuan gurunya ia mampu menuliskan jawaban dengan benar meski kata bu guru Neyna paling terakhir menyelesaikannya.

Saya bangga dengan kemauan dan usahanya, saya sangat mengapresiasi sekali apa yang Neyna lakukan.

Kejadian tersebut membuat saya terobsesi sendiri bahwa Neyna harus SAMA seperti saya. Padahal jelas meski dalam tubuhnya mengalir darah saya belum tentu kemampuannya juga mengalir sama.

Saya jadi teringat dengan film pendek seorang anak lelaki yang terus-terusan dapat nilai jelek untuk berhitungnya sementara ayah ibunya begitu pandai. Namun ibunya terus menerus memintanya belajar dan belajar tapi hasilnya tetap buruk. Ternyata dibalik kelemahannya di akademik dia punya bakat melukis.

Mengingat film pendek itu, saya merasa sama saja dengan ibunya tidak mampu memahami hanya bisa MENUNTUT saja kepada anak *astagfirullaH*. Temans, rasanya memang tidak mudah menjadi orang tua. Benar adanya ungkapan menjadi orang tua harus belajar setiap hari.

Neyna bukanlah saya dan saya juga bukanlah Neyna, so apa yang harus saya lakukan?beberapa hal berikut menjadi catatan untuk saya pribadi, diantaranya adalah :

1. Stop Membandingkan
Tidak ada yang suka dibandingkan bahkan antara  adik dan kakak kandungpun membenci untuk dibandingkan apalagi saya sebagai orang tua membandingkan kemampuan saya dengan anak saya sendiri duh. 

Saya selalu yakin jika Neyna punya potensi yang berbeda dengan saya, ga melulu harus terjebak dengan ambisi dan obsesi saya. Karena itu, saya mulai berubah tak lagi harus melihat dan membandingkan kemampuan saya yang dulu.

2. Ceklist Setiap Kelebihan Anak
Memaksakan Neyna menjadi seperti yang saya lakukan sama saja saya mematahkan secara perlahan potensi yang secara alamiah sudah Alloh berikan kepadanya.

Saya mencoba untuk mengurutkan apapun yang Neyna bisa di usianya sekarang.

Di usia sekarang Neyna sudah mampu mandi sendiri, makan sendiri, sedikitnya hafal bacaan solat bahkan meski dengan berat hati dan minta korting rokaat solat ia sudah mau melaksanakan solat. 
Lain dari itu dia sudah terbiasa menyebutkan 3 mantra ajaib dalam hidup, Terimakasih, Maaf dan Tolong. 
Bahkan ia sudah berani tampil menyanyi sendiri, sudah mau mengakui kesalahan, bisa pakai kaos kaki dan sepatu sendiri. Sudah terbentuk empatinya dan bikin haru ketika ia punya uang Rp 2000 yang ia dapat dari eninnya, ia memberikan kepada saya dan berkata "ini buat bunda yah biar bunda punya uang". *so sweet*

Saya menyadari jika kemampuan akademik Neyna tak seperti yang saya harapkan namun kemampuan lainnya ia jauh lebih baik daripada saya waktu seusianya.

Inilah yang membuat saya akhirnya bisa merubah diri saya.

3. Menerima Dengan Lapang Dada Dan Bersyukur

Saya selalu yakin setiap kemampuan itu diberikan sesuai dengan porsinya maka alangkah indahnya jika saya menerima bahwa porsi kemampuan Neyna seperti itu. Dan utamanya adalah menysukuri bahwasanya Neyna masih tumbuh dan berkembang sesuai tugas perkembangannya.

Maka tugas sayalah sebagai orang tua bisa memfasilitasinya, mendukungnya bukan hanya menuntut apalagi menekannya. Saya tidak mau menjadikannya anak yang terkotakkan karena ambisi dan obsesi saya sendiri. 

***

Sejak minggu lalu hingga minggu ini, Neyna sedang ujian akhir semester di TK A. Belajar dari moment sebelumnya kali ini saya tidak memaksakan memporsir Neyna belajar untuk mendapatkan nilai sempurna tapi saya mendampingi belajarnya sesuai dengan porsi kemampuannya.

Buat temans yang juga anaknya sedang ujian pasti rasanya deg-degan banget, khawatir dengan hasil akhirnya. Percayalah anak kita juga pasti sudah berusaha sebisa mungkin yang ia bisa bekalilah mereka dengan kejujuran, iringilah mereka dengan doa kita sebagai orang tua dan dampingilah mereka saat mereka mulai tidak percaya diri. 

Hal ini saya tuliskan agar menjadi reminder saya sendiri. Jangan pernah menggantungkan obsesi kita sebagai orang tua, karena anak kita bukanlah kita dan kita bukanlah anak kita.

Temans, pernah mengalami yang saya rasakan?yuk kita sharing disini 💋 semoga bermanfaat yah.