POSTS SLIDER

I'm writing about...

Sebuah Teguran

Adakalanya ketika kita membuat satu kesalahan barangkali ada orang lain yang peduli untuk menegur sebagai reminder untuk kita jangan sampai melakukan kesalahan lagi. Tapi sayangnya teguran tak pernah berujung manis jika yang menegur salah dalam pendekatan cara menegurnya. Yang terjadi justru konflik yang meruncing bukan memperbaiki kesalahan yang ada.

Kebanyakan dari kita lebih banyak menegur dengan fokus pada kesalahannya tanpa mengetahui terlebih dahulu sebab musabab mengapa orang lain berbuat seperti itu melakukan suatu kesalahan. Kadang pula kita melupakan situasi dan kondisi orang yang kita tegur. Balik lagi pasti bukannya menyelesaikan masalah tetapi memperburuk keadaan.
Ada yang bisa menyadari kesalahannya dan banyak pula yang tidak menyadarinya. Ego masing-masing yang mengendalikan rasa bersalah. Tidak mudah memang ketika ingin mengakui satu kesalahan. Lidah terasa kelu dan begitu sulit untuk mengakui kesalahan. Saya pun sama seperti itu, kadang saya merasa paling benar sehingga kena teguran menjadikan saya bukan merasa bersalah namun menganggap orang lain yang menegur itu sok tau. xixixi

Teguran, cara menegur, menerima teguran

Anak saya usia 3 tahun, jika dia berbuat salah dia belum bisa mengakui kesalahannya. Disini yang saya pahami anak kecil masih belum menyadari bahwa misalnya jalur A adalah sesuatu yang benar atau salah sehingga sulit membedakan. Saya tanyakan apa kesalahannya yang keluar hanyalah reflek permohonan maaf atau pura-pura tak melakukan kesalahan.

Tentunya berbeda cara menegur saya kepada anak, misalnya kejadian baru-baru ini anak saya ngompol di kasur. Reflek saya kaget dan jangan ditanya pasti kesel berujung marah. Lumrah bagi setiap orang reaksi refleknya kalau ga kaget, marah. Lalu setelah cooling down karena saya katarsis dengan mengganti sprei akhirnya energi marah saya hilang untuk beresin kasur yang basah. 

Selanjutnya saya panggil anak saya untuk bicara. Dia berulang kali bilang "maafin y bun qu ga sengaja" sambil nunduk. Bagi saya sebagai ibu stock maaf untuk anak pasti tersedia apalagi dia baru belajar mengenai true or false dalam kesehariannya. Lalu saya balik tanya apakah Neyna tau kesalahan Neyna? anak saya geleng-geleng kepala. Yang saya pahami dia sedih karena menyesal membuat saya kesal.

Saya jabarin akan 3 kesalahan yang telah dia lakukan :
1. sudah ngompol di kasur
2. ngompolnya di celana
3. tidak pernah mendengarkan nasehat 

Ketiga kesalahan itu saya tujukan dengan reasoning tentunya, saya jabarkan jika pipis itu harusnya dimana?dia bilang toilet. Saya tanyakan apa sebabnya sampe ngompol lagi di kasur? lagi-lagi anak saya menjawab maafin qu bun qu ga sengaja *pasang muka melas*. Saya hampir ketawa padahal lagi serius. Ujung dari pembicaraan tersebut membuat dia berjanji untuk tidak ulangi lagi dan bikin meleleh dia meluk saya sambil bilang terimakasih.

Ini yang bisa saya pelajari, bagi orang dewasa tak mungkin memberikan reaksi yang sama seperti anak-anak. Ditanya kesalahan tentunya sudah mampu menjawab tapi sayangnya kebanyakan menggunakan jurus defence. Mungkin juga cara yang salah dalam memberikan teguran kepada orang lain. Karena seperti yang saya ulas sebelumnya kita kebanyakan fokus pada kesalahan tanpa menggali terlebih dahulu historynya.


Belajar dari anak saya, ditegur ia minta maaf, ia mengucapkan terimakasih meskipun ia belum memahami akar kesalahannya. Mungkin berbeda dengan orang dewasa, butuh pendekatan khusus agar mereka mampu menyadari kesalahannya. Saya pernah ceritakan disini ketika saya meng-assessment seseorang berujung curhat. Sulit sekali saya menembus benteng defencenya harus menggunakan teknik membangun baru akhirnya saya bisa masuk ke ranah kekurangannya.

Teguran yang Alloh berikan pun sama kepada setiap manusia dengan berbagai macam bentuknya, hanya yang membedakan cara kita menangkap isyarat tersebut sehingga mampu membuka mata kita untuk segera bertobat dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Reaksi kita apakah kita menantang pemilik diri kita? marah kepada Alloh? atau bahkan cuek? jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Cukuplah mengingat setiap tingkah laku yang kita perbuat. Yang saya tahu setiap teguran yang datang merupakan tanda kasihNya kepada kita untuk tetap berada dalam koridor yang benar.

Demikian ulasan saya, menegur tak mesti harus menggunakan emosi, menegur perlu waktu yang tepat, jangan selalu fokus sama kesalahannya tapi mengkorek dulu alasannya, hingga di akhirnya sama-sama berkomitmen untuk perbaikan diri.