POSTS SLIDER

I'm writing about...

Problematika Kusta : Kentalnya Stigma & Diskriminasi di Lapangan

Stigma negatif pada penderita kusta seakan tidak akan pernah hilang, bahkan tak hanya penderitanya namun keluarga penderita harus menerima perlakuan diskriminasi dari masyarakat.

Kentalnya stigma semakin lekat takkala minimnya informasi dan edukasi seputar penyakit kusta. Bahkan tak hanya masyarakat awam saja akan tetapi faktanya di lapangan, tenaga kesehatan pun masih dirasakan tak terbuka dengan pasien penderita kusta.

Baca lagi : Stop Stigma Negatif & Diskriminatif Penyakit Kusta

Yang pada akhirnya penderita kusta tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik untuk dirinya. Hal ini tentu saja menjadi pemicu penularan kusta yang makin meluas.

dinamika-penyakit-kusta

Dinamika Perawatan Diri Dan Pencegahan Disabilitas Pada Kusta

Antisipasi dengan fenomena penderita kusta tentu saja butuh edukasi dan sosialisasi secara terus menerus sehingga bisa sampai informasinya kepada seluruh lapisan masyarakat.

Salah satu upaya edukasinya, Ruang Publik KBR membuat talkshow dengan mengangkat isue "Dinamika Perawatan Diri Dan Pencegahan Disabilitas Pada Kusta" pada tanggal 28 April 2022.

Hadir sebagai narasumber diantaranya adalah :

  • dr. M Riby Machmoed MPH - Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia
  • Sierli Natar,S.Kep - Wasor TB/Kusta, Dinas Kesehatan Kota Makassar

dr. Riby menyatakan jika penderita kusta sebagian besar tidak menyadari jika dirinya mengidap kusta ditandai dengan bercak-bercak putih yang tidak sakit dan gatal.

Hal ini membuat penderita kusta malas untuk pergi ke puskesmas atau minimal memeriksakan diri ke dokter.

Tantangan Menghadapi Penyakit Kusta 

Menurut Ibu Sierli, penyakit kusta sendiri ada beberapa tantangannya, diantaranya adalah :

1. Penderita kusta kebanyakan tidak menerima jika dirinya menderita penyakit kusta. Sebagaimana yang sudah disampaikan oleh dr. Riby para penderita sebagian besar merasa tidak sakit sehingga ketika petugas kesehatan menyatakan sakit kusta penderita serasa denial.

2. Pemahaman petugas kesehatan yang masih minim informasi seputar penyakit kusta, sehingga PR saat ini menurut Ibu Sierli adalah bagaimana cara mengubah mindset petugas kesehatan ketika melayani penderita kusta. 

Kusta sendiri memang merupakan penyakit menular namun tidak mudah menular butuh waktu yang panjang.

Bagaimana Perawatan Diri Penderita Kusta?

Di kota Makasar melibatkan penderita kusta dalam kegiatan untuk meningkatkan kepercayaan diri. Sehingga penderita kusta juga bisa mendapatkan keterampilan.

Tak hanya itu untuk pelayanan di Puskesmas sendiri seharusnya penderita kusta mendapatkan akses pelayanan yang sama.

Untuk perawatan dirinya sendiri tergantung lokasi. Menurut dr. Riby ada tingkat kecacatannya tersebut ada tingkat 1 itu hanya mati rasa pada telapak tangan dan kaki.

Sementara itu cacat tingkat 2 sebagaimana yang nampak seperti bengkok, matanya terbuka. Oleh karena itu butuh perawatan.

Perawatannya sendiri, menurut dr. Riby yakni lukanya direndam dengan air hangat lalu digosok dengan batu apung tak lupa diberikan minyak kelapa dan ditutup dengan kain yang bersih. Bila tangan bengkok ditambah dengan dipijat agar lemas.

Penderita kusta ini bisa seumur hidup apabila sudah cacat. Karena tahap awal kusta sendiri bisa disembuhkan tanpa mengalami kecacatan.

Selama pengobatannya sendiri harus diperiksa syaraf agar melihat resiko kecacatan. Reaksi kusta sendiri bisa terjadi jika penderita tidak telaten dalam berobat.

Perlu 2-5 tahun pengobatan berhubungan dengan petugas kusta agar rutin terus sehingga menghindari kecacatan.

Kriteria sembuh sendiri dinyatakan sudah sembuh jika sudah selesai waktunya. Dimana ada kusta kering bisa 3 bulan pengobatan dan selama 12 bulan untuk kusta basah. Namun tetap waspada bisa kambuh kembali kuman kusta ini.

***

Demikian temans yang bisa saya sampaikan kali ini, semoga edukasi dan sosialisasi seputar kusta bisa makin menyebar agar tidak terjadi diskriminasi pada penderita kusta yang memang sangat membutuhkan pengobatan agar tidak telat menjadi kecacatan.