Di tengah hiruk-pikuk kota Bandung yang terus tumbuh sebagai kota kreatif, masih ada beberapa area di Bandung yang sulit diakses oleh sebagian warganya.
Rute panduan berwarna kuning dipasang di stasiun kereta api, halte bus, dan gedung-gedung publik, namun hal ini hanya setengah dari perjuangan bagi para tunanetra dan penyandang disabilitas visual.
Meskipun mereka dapat mengikuti pola lantai, mereka seringkali tidak tahu ruangan mana yang mereka masuki, di mana letak toilet, atau cara keluar dari sana.
Beberapa orang hanya dapat menebak arah berdasarkan aroma, jejak kaki, atau suara air.
"Saya berhenti jika tidak ada orang yang lewat" selama wawancara lapangan, seorang penyandang tunanetra di Bandung mengatakan, "Saya takut salah arah".
Fakta bahwa aksesibilitas di tempat umum tidak selalu sama dengan aksesibilitas informasi yang ditunjukkan oleh fenomena sederhana ini.
Dan seorang desainer muda bernama Fariz Fadhlillah mulai mencari solusi bukan dengan kata-kata, tetapi dengan sentuhan karena kekhawatiran ini.

Empati, Penelitian, dan Bahasa yang Dapat Dipahami
Pengalaman lapangan dan kepekaan ini menginspirasi pengembangan Tactogram, sebuah desain ikon taktil universal untuk tunanetra di area publik yang inovatif. Desain ini menggunakan simbol-simbol taktil yang dapat “dibaca” dengan jari untuk membantu orang buta memahami fungsi area publik.
Fariz tidak hanya bermimpi. Pada tahun 2018, ia mulai melakukan banyak penelitian dengan puluhan orang buta dari berbagai kota. Ia menanyakan kemampuan mereka dalam membaca tanda-tanda umum, mengenali arah, dan memahami ruang.
Menurut temuan awal penelitian, sebagian besar dari mereka mampu menavigasi jalur taktil tetapi kesulitan memahami bagaimana ruang bekerja. Banyak yang lain hanya membuat tebakan berdasarkan aroma, jejak kaki, atau suara air.
Fariz mulai menciptakan simbol-simbol taktil yang dapat “dibaca” oleh jari berdasarkan penemuan-penemuannya. Ia mengonversi teori bahasa visual lama Prof. Primadi Tabrani, yang mengintegrasikan waktu, ruang, dan gerakan, menjadi bentuk-bentuk geometris dasar.
![]() |
Source: Intagram @tactogram |
Mulai dari simbol-simbol dasar seperti toilet, tangga, dan pintu keluar, hingga lokasi-lokasi yang lebih spesifik seperti loket tiket atau ruang tunggu, setiap simbol Tactogram dirancang dengan mempertimbangkan hierarki kebutuhan informasi.
Karena simbol-simbol ini menonjol dan berjarak setidaknya 5 milimeter, orang dapat dengan mudah membedakannya melalui sentuhan tanpa kebingungan.
![]() |
Source: Intagram @tactogram |
Fariz juga mempertimbangkan memori kerja, yang merujuk pada kemampuan otak untuk mempertahankan pola jangka pendek. Simbol yang terlalu rumit membuatnya lebih sulit dipahami. “Apa yang mudah dipahami oleh semua indra adalah desain yang baik” katanya, bukan yang secara visual menarik.
Pengujian Prototipe Tactogram di Stasiun Bandung
Stasiun Bandung menjadi lokasi pengujian prototipe Tactogram pertama. Di banyak lokasi penting, Fariz dan timnya memasang simbol taktil. Peserta penelitian yang memiliki gangguan penglihatan dari berbagai usia diinstruksikan untuk menggunakan sentuhan untuk membaca simbol-simbol tersebut dan menentukan tujuan mereka.
Source: Intagram @tactogram
Hasilnya mengejutkan: tanpa bantuan orang lain, lebih dari 90% peserta mampu menemukan jalur yang benar. Seorang peserta, berkata, “Saya biasanya menunggu orang lain lewat untuk tahu arah mana yang harus diambil. Namun, saya bisa memahami simbol ini sendiri. Rasanya seperti memiliki mata tepat di ujung jari saya."
Momen itu lebih berarti bagi Fariz daripada penghargaan apa pun. Dia mengatakan bahwa jika teknologi gagal untuk menghumanisasi individu, maka teknologi itu menjadi tidak berarti.
Tantangan dan Harapan Tactogram
Fariz menghadapi banyak hambatan sepanjang perjalanannya. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya desain inklusif, ketidakhadiran standar nasional untuk simbol taktil, dan keterbatasan dana merupakan beberapa di antaranya.
Namun, antusiasmenya tetap tak tergoyahkan. Fariz memperluas penerapan sistem ini dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah, komunitas disabilitas, dan akademisi melalui Laboratorium Tactogram. Ia juga memfasilitasi kerja sama dengan perusahaan yang memiliki tujuan yang sama dalam keberlanjutan sosial dan kolaborasi lintas sektor lainnya.
Melalui Laboratorium Tactogram di Bandung, Fariz membentuk komunitas kecil yang terdiri dari akademisi, desainer muda, dan orang-orang dengan disabilitas. Empati dan penelitian terus berlangsung dalam diskusi yang hangat di lingkungan laboratorium yang sederhana itu.
![]() |
Source: Intagram @tactogram |
Orang-orang dengan gangguan penglihatan secara langsung mengevaluasi setiap prototipe sebelum dibahas secara kelompok.
Konsep-konsep baru kemudian muncul, mulai dari bahan yang lebih tahan cuaca hingga sistem tekstur yang beradaptasi dengan lingkungan ruangan, hingga potensi integrasi dengan navigasi suara digital untuk memberikan data lokasi real-time kepada pengguna.
![]() |
Source: Intagram @tactogram |
Salah satu hal menarik dari proses pengembangan Tactogram adalah cara Fariz memanfaatkan limbah percetakan dan material bekas eksperimen sebagai bahan riset.
Tactogram adalah proyek ramah lingkungan yang mempromosikan nilai keberlanjutan dalam desain sosial dan bersifat inklusif berkat pendekatan berkelanjutannya.
Banyak pihak mulai menyadari upaya berkelanjutan ini. Tactogram telah digunakan sebagai studi kasus desain inklusif oleh sejumlah universitas.
Pemerintah daerah mulai mempertimbangkan penggunaannya di ruang publik. Menurut beberapa organisasi internasional, Tactogram merupakan ilustrasi konkret dari “desain universal dengan kebijaksanaan lokal” sebuah desain global yang berasal dari Indonesia.
Pendekatan ini, yang ia sebut sebagai “zero waste prototyping,” tidak hanya ekonomis tetapi juga bermanfaat secara ekologis.
Inovasi yang Memanusiakan
Kisah Fariz Fadhlillah menekankan pertumbuhan manusia melalui penemuan. Tactogram bukan hanya tentang teknologi, tetapi ini juga tentang keberanian untuk mengubah empati menjadi mekanisme yang nyata.
Bayangkan jika sistem ini diterapkan di sekolah, rumah sakit, pusat logistik, atau pabrik lingkungan di mana keselamatan dan kemandirian ditentukan oleh ketersediaan informasi. Semua orang mampu menjelajahi ruang dengan percaya diri. Ketika tidak ada yang dikecualikan hanya karena perbedaan pandangan dunia mereka, itulah makna sejati dari inklusi.
![]() |
Source: Intagram @tactogram |
“Manifestasi konkret keadilan sosial adalah akses yang setara terhadap informasi,” kata Fariz. “Kita tidak bisa membicarakan inklusi jika masih ada orang yang harus menebak-nebak tentang jalan hidup mereka.”
Fariz Fadhlillah menyampaikan pesan yang kuat bahwa hal-hal kecil dapat memiliki dampak besar dari sebuah kota yang terkenal dengan kreativitasnya. Melalui Tactogram, ia mengajarkan bahwa teknologi tercanggih adalah yang memungkinkan orang saling memahami hanya dengan merasakan, tanpa perlu melihat.
Atas dedikasi, inovasi, dan keberpihakannya pada kemanusiaan, Fariz Fadhlillah berhak mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards tahun 2024 untuk kategori Teknologi, sebuah apresiasi bagi sosok yang membuktikan bahwa empati dapat menjadi dasar bagi kemajuan bangsa.
***
Source:
1. Good News from Indonesia https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/10/04/fariz-fadhlillah-hadirkan-tactogram-piktogram-sentuh-untuk-tunanetra
2. Fadhlillah, F. (2021). Optimizing Visually Impaired Ability to Read Tactile Pictogram Through Texture Design. Jurnal Visualita, Vol. 10 No.1.
3. National Geographic Indonesia – “Keresahan Desainer Indonesia dan Eropa untuk Krisis Limbah Global”